Ketahanan Nasional

Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional adalah kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan. Kondisi kehidupan tersebut sejak dini dibina secara terus menerus dan sinergis dimulai dari pribadi, keluarga, lingkungan, daerah, dan nasional.

Sejarah Pertahanan Keamanan Indonesia
Bermula pada tahun 1945, telah memberikan pengalaman yang berharga dan nilai-nilai perjuangan yang penting dihimpun dan disusun dalam suatu konsepsi pertahanan keamanan yang tangguh dan ampuh, bagi upaya dan penyelenggaraan pertahanan keamanan. Negara berdasarkan falsafah bangsa dan idiologi serta dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI 1945 (UUD 1945).

Pertahanan Negara
Untuk mewujudkan ketahanan nasional kita melakukan segala cara, hal ini disebut sebagai pertahanan Negara. Pertahanan Negara disebut juga pertahanan nasional adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah sebuah Negara dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara. Ada dua jenis pertahanan yang dapat dilakukan :
Pertahanan militer, untuk menghadapi ancaman militer.
Pertahanan nonmiliter/nirmiliter, untuk mengahadapi ancaman nonmiliter/nirmiliter.

Komponen Pertahanan
Di Indonesia, sistem pertahanan Negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan  Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai Komponen Utama dengan didukung oleh Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung. Sistem Pertahanan Negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa.


    1. Komponen Utama
Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan.

    2. Komponen Cadangan
Sumber Daya Nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama.

   3. Komponen Pendukung
Sumber Daya Nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Komponen pendukung tidak membentuk kekuatan nyata untuk perlawanan fisik.

Sumber Daya Nasional terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan. Sumber daya nasional yang dapat dimobilisasi dan didemobilisasi terdiri dari sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang mencakup berbagai cadangan materiil strategis, faktor geografis dan lingkungan, sarana dan prasarana di darat, di perairan maupun di udara dengan segenap unsur perlengkapannya dengan atau tanpa modifikasi.

Komponen Pendukung terdiri dari lima segmen :
1. Para Militer
Polisi (Brimob), Satuan Polisi Pramong Praja (Satpol PP), Perlindungan Masyarakat (Linmas atau Hansip), Satuan Pengamanan (Satpam), Resimen Mahasiswa (Menwa), Organisasi Kepemudaan, Organisasi Bela Diri, dan Satuan Tugas (Satgas) partai.
2. Tenaga ahli/Profesi
Sumber daya manusia sesuai keahlian atau berdasarkan profesi.
3. Industri
4. Sumber Daya Alam atau Sarana Prasarana
5. Sumber Daya Manusia



https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:
ANd9GcTbr3s2AZeOgNOCJRwdVnwnpL7xoi_hvvFWuiuxsZ9u2UfmsZFdEw
Komponen pendukung terdiri dari lima segmen :
1.    Para militer
Polisi (Brimob), Satuan Polisi Pramong Praja (Satpol PP), Perlindungan Masyarakat (Linmas atau Hansip), Satuan Pengamanan (Satpam), Resimen Mahasiswa (Menwa),Organisasi Kepemudaan, Organisasi Bela Diri, dan Satuan Tugas (Satgas) partai.
2.    Tenaga ahli/Profesi
Sumber daya manusia sesuai keahlian atau berdasarkan profesi.
3.    Industri
Semua industri yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kekuatan utama dan kekuatan cadangan dalam menghadapi ancaman.
4.    Sumber Daya Alam atau Sarana Prasarana
Sumber daya alam adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air dan dirgantara yang dalam wujud asalnya dapat didayagunakan untuk kepentingan pertahanan Negara. Sumber daya buatan adalah sumber daya alam yang telah ditingkatkan daya gunanya untuk kepentingan pertahanan Negara. Sarana dan prasarana nasional adalah hasil budi daya manusia yang dapat digunakan sebagai alat penunjang untuk kepentingan pertahanan Negara dalam rangka mendukung kepentingan nasional.
5.    Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia adalah warga Negara yang secara psikis dan fisik dapat dibina dan disiapkan kemampuannya untuk mendukung komponen kekuatan pertahanan dan keamanan Negara. Seluruh warga Negara secara individu atau kelompok, misalnya organisasi masyarakat (seperti:LSM)

Permasalahan Indonesia
Hal terpenting yang mesti diperhatikan oleh suatu Negara adalah kesejahteraan masyarakat, terlebih lagi masyarakat yang berada didaerah perbatasan atau pulau-pulau terluar. Akan tetapi, Negara Indonesia mempunyai keterbatasan dalam menjangkau daerah-daerah tersebut dan kurangnya perhatian pemerintahan
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:
ANd9GcRkpVB35nftpXTdkbLfwNn4v3u64r2FHUoir_AH8w3wYnaDBFBmUw
pusat. Akibatnya, tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang di cita-citakan bangsa Indonesia. Bahkan ada beberapa wilayah yang hanya dimanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya sedangkan kehidupan masyarakat masih berada di bawah garis kemiskinan. Hal inilah yang memicu berbagai konflik, bahkan ada daerah yang ingin memisahkan diri.
Ada dua daerah yang berusaha untuk memisahkan diri dari NKRI yaitu D.I Aceh dan Papua. Padahal kedua daerah tersebut berada diujung wilayah Barat dan Timur Indonesia yang menjadi ‘ujung tombak’ pertahanan negara.


1.    Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
http://static.republika.co.id/uploads/images/detailnews/
bendera-gerakan-aceh-merdeka-gam-_130327102314-703.jpg
Sebuah organisasi (yang dianggap separatis) yang memiliki tujuan supaya Aceh, yang merupakan daerah yang sempat berganti nama menjadi Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan lingkungan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hamper sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNFL). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama hampir tiga dekade bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan Swedia.


2.    Organisasi Papua Merdeka (OPM)
http://2.bp.blogspot.com/-N9bqyRVzUPo/TjznbmpFTHI/
AAAAAAAAHZY/3ilohuvrRgI/s320/bintang-kejora.jpg
Sebuah organisasi yang didirikan tahun 1965 dengan tujuan membantu dan melaksanakan penggulingan pemerintahan yang saat ini berdiri di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, sebelumnya bernama Irian Jaya, memisahkan diri dari Indonesia, dan menolak pembangunan ekonomi dan modernitas. Organisasi ini mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya New People’s Army beraliran Maois yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat.
Organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih kemerdekaan di tingkat Provinsi dapat dituduh sebagai tindakan pengkhianatan terhadap Negara. Sejak berdiri, OPM berusaha mengadakan dialog diplomatik, mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan melancarkan aksi militant sebagai bagian dari konflik Papua. Para pendukungnya sering membawa-bawa bendera Bintang Kejora dan symbol persatuan Papua lainnya, seperti lagu kebangsaan “Hai Tanahku, Papua” dan lambang nasional. Lambang nasional tersebut diadopsi sejak tahun 1961 sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan bulan Mei 1963 sesuai Perjanjian New York.

Permasalahan lainnya
Selain dari kedua bentuk organisasi pemberontakan diatas, ada pula permasalahan lainnya yang mengancam ketahanan nasional, yaitu permasalahan penambangan PT. Freeport.
Operasi penambangan Freeport dilakukan sejak Juli tahun 1967. Perjalanan Freeport selama puluhan tahun di Papua-Indonesia sudah banyak bukti ketidakadilan yang terus dilindungi Negara atas nama Undang-undang Investor. Belajar dari sejarah kepemilikan saham dan mata rantai kekuasaan di lingkaran Freeport, di Amerika Serikat saja, Freeport mendapat perlindungan istimewa secara Politik dari konstituen Politik Partai Republik dan para eks Jenderal di negeri Paman Sam pun di rekrut menjadi staf karyawan Freeport. Tradisi para petinggi militer melindungi Freeport di Amerika Serikat pun, budaya yang sama murni di terapkan bagi cabang Freeport di Indonesia (FI). Dan sejak niat rakyat Papua minta penyelesaian kasus Freeport, selalu saja dialihkan dengan benturan lain. Terkadang permasalahan ini memicu tejadinya penyerangan ataupun pemberontakan yang dilakukan masyarakat Papua. Ini disebabkan karena mereka merasa dianaktirikan oleh Pemerintah Pusat, mereka tidak dapat merasakan timbal balik(manfaat) dari kekayaan alam yang mereka miliki. Padahal kekayaan alam yang dimiliki mereka yang telah menyumbangkan dana yang cukup besar bagi pendapatan Negara.
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:
ANd9GcQY3FQa4KlOJ-7GpRyOJItqG7f
R6cFrpX7lmYAymcpsCSNqg2qYQ
Ada pula permasalahan lain mengenai perebutan pulau antara Indonesia-Malaysia yang mengakibatkan lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia. Melihat dari contoh tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pertahanan Indonesia di pulau-pulau terluar Indonesia masih kurang. Kebanyakan letak pulau-pulau terluar tersebut dekat dengan Negara tetangga. Letaknya yang cukup dekat dengan Negara lain tersebut menjadikan pulau-pulau itu dijadikan sebagai ‘Tameng’ Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Negara lainnya. Seharusnya kehidupan mereka kita jaga, rawat, dan diperhatikan lebih akan kesejahteraan masyarakatnya.
Kebanyakan masyarakat penduduk pulau-pulau terluar bekerja sebagai nelayan dan sangat menggantungkan hidupnya pada kekayaan hayati laut di sekitarnya. Sebagian besar adalah penduduk asli di tempat tersebut dan hanya sebagian kecil diantaranya merupakan pendatang dari daerah lain. Mengapa demikian? Hal ini terkait dengan sulitnya akses daerah lain dan minimnya infrastruktur yang ada di pulau-pulau terluar tersebut. Jangankan tempat hiburan, infrastruktur dasar seperti listrik dan air bersih adalah sesuatu yang sangat mahal harganya di daerah tersebut.
Dengan sebagian besar penduduknya adalah nelayan, kebutuhan akan Bahan Bakar Minyak (BBM) berupa solar adalah suatu hal yang harus dipenuhi. Kelangkaan BBM artinya ketiadaan tangkapan ikan yang berujung pada pengangguran dan kemiskinan. Sebagai masyarakat nelayan keinginan untuk bersekolah dan maju adalah sesuatu yang juga dimiliki oleh anak-anak nelayan di pulau-pulau terluar. Dan sesuai dengan janji pemerintah terkait program wajib belajar 9 tahun, keberadaan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) adalah sesuatu yang wajib tersedia dalam dalam infrastruktur pulau-pulau terluar.
Kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah terlalu terpusatnya segala kegiatan baik perekonomian, perdagangan, sosial, politik, maupun administrasi kegiatan terpusat di Pulau Jawa. Meskipun sudah diberlakukannya otonomi daerah, sepertinya program tersebut masih kurang efektif karena dalam pelaksanaannya masih ada beberapa kesalahan, yaitu :
Pertama, konsep otonomi daerah itu sendiri.
Konsep otonomi daerah yang dipakai selama ini sebenarnya sebuah terminology yang salah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Dalam literatur manajemen pemerintahan, otonomi tidak pernah dijadikan sebagai dasar manajemen public pusat dan daerah. Hal ini karena otonomi adalah a transfer of political power from state to society (Rondinelli, 1998)
Dalam konsep ini tidak mengherankan bila daerah kemudian minta merdeka atau memisahkan diri karena otonomi bernuansa amat politis yaitu pada transfer of political power. Konsep yang tepat adalah desentralisasi daerah bukan otonomi daerah ini karena desentralisasi merupakan a transfer of management from the central to local governments. Dalam konteks ini daerah merupakan bagian tidak terpisahkan dari pusat, sehingga semangat memerdekakan (memisahkan) diri sudah di luar konteks manajemen publik pusat-daerah (Yuwono, 2001).
Kedua, fungsi pemerintah pusat dan organ-organnya.
Kemunculan isu menyeruak ke permukaan beberapa waktu lalu, yaitu bupati atau wali kota mbalelo kepada gubernur adalah bentuk salah kaprah. Hal ini karena pencampuradukan konsep otonomi daerah dan desentralisasi. Otonomi dan desentralisasi membawa konsekuensi manajemen yang amat berbeda. Bila mbalelo-nya karena kedudukan gubernur sebagai kepala daerah tentu logis sebagaimana amanat UU No.22/1999. Tetapi, bila mbalelo-nya karena kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, maka di sinilah salah kaprahnya. Hal ini karena dalam desentralisasi, lima fungsi pokok pemerintah harus tetap dimiliki pemerintah pusat, yaitu fungsi koordinasi, fungsi supervisi, fungsi stabilitasi, fungsi alokasi, dan distribusi sumber daya, serta dungsi evaluasi (Harris, 1983). Untuk ini, tidak ada alasan bagi daerah untuk menolak dikoordinasi, disupervisi, atau dievaluasi pemerintah pusat beserta perangkatnya.
Ketiga, mengenai kewenangan.
Sebagai sebuah Negara kesatuan (bukan Negara federal), maka sumber kewenangan daerah sesungguhnya berasal dari pemerintah pusat. Artinya, daerah secara manajerial ada dalam posisi inferior dibanding pusat. Karena itu, otoritas kewenangan tetap ada pada pusat meski daerah masih tetap terbuka untuk melakukan bargaining dengan pusat.
Letak salah kaprahnya, kewenangan wajib harus dijalankan, meski mungkin sebuah kabupaten/kota tidak mampu menjalankan semuanya. Ini kesalahan pada konsep implementasi di mana berasumsi pada penyamarataan kemampuan daerah. Padahal, kenyataannya kemampuan mereka amat beragam.
Keempat, tentang struktur organisasi dan tata kerja.
Praktik yang terjadi di daerah, mereka berpendapat, jumlah organisasi daerah harus sama dengan jumlah kewenangan yang dimiliki. Artinya, jika kewenangannya 11, maka dinas daerah juga harus 11. Ini sebuah kesalahan persepsi dalam manajemen, karena tidak ada keharusan, jika kewenangannya 11, maka dinas daerahnya harus 11 pula. Pengalaman Kabuoaten Kudus, di mana SOTK baru hanya membentuk lima dinas, adalah pengalaman menarik, bukan saja untuk Jawa Tengah tetapi juga Indonesia. Bahkan beberapa lembaga internasional secara spesifik tertarik mendalami otonomi daerah di Kabupaten Kudus.
Kelima, tentang arogansi daerah.
Mengingat daerah memiliki apa pun yang ada di daerahnya, maka menimbulkan semangat kedaerahan yang berlebihan. Misalnya para nelayan yang berkonflik (hingga konflik fisik) karena mencari ikan di wilayah laut kabuoaten/kota lain. Ini sebuah kesalahkaprahan yang parah oleh karena kesalahpahaman yang berkepanjangan/
Keenam, konsep putra daerah.
Hal ini mendekati benar bahwa dengan implementasi kebijakan otonomi daerah, semangat nasionalisme makin luntur dengan semangat kedaerahan yang makin menguat. Bahkan semangat sukuisme (SARA) dijadikan pertimbangan dasar system promosi kepegawaian daerah. Ini kesalahkaprahan yang tragis.
Ketujuh, menyangkut DPRD.
Menurut UU No.22/1999, DPRD dan pemerintah daerah mempunyai kedudukan sejajar. Dalam praktiknya tidak, karena DPRD menjadi superior ketimbang kepala daerah dan jajarannya. DPRD dipandang arogan karena kekuasaannya besar, bahkan bisa intervensi beberapa fungsi eksekutif. Ini terjadi karena UU-nya menempatkan DPRD sebagai superior and extra powerful body di daerah. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 juga makin memperkuat DPRD sebagai the great giant di daerah. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 juga makin memperkuat DPRD sebagai the great giant di daerah.
Kedelapan, manajemen keuangan.
Implementasi UU No.5/1974, daerah menerima dana SDO untuk membayar gaji pegawai dan program instruksi presiden (inpres) untuk membangun daerah, sehingga program pembangunannya lebih banyak. Namun, dengan implementasi UU No 22/1999, ternyata dana dan program pembangunan daerah mandek dan mungkin masih ada di pemerintah pusat (Warsito, 2001). Hal ini karena DAU sama dengan SDO, digunakan untuk membayar gaji oegawai sementara Inpres pembangunan sudah tidak ada lagi.
Kesembilan, anggaran pembangunan daerah menjadi sangat kecil disbanding anggaran rutin.
Hal ini bermasalah karena pengalokasian dana rutin yang berlebihan. Kasus di beberapa daerah yang menyediakan gaji besar bagi DPRD merupakan buktinya.
Kesepuluh, menyangkut inkonsistensi kebijakan.
Sebagian besar PP yang berkait dengan otonomi daerah dating terlambat dan isi peraturannya saling kontroversial antara satu pasal dengan pasal lainnnya. Inkonsistensi kebijakan dalam UU No 22/1999 dan PP No 108/2000 merupakan bukti kesalahkaprahan ini. Artinya, desain kebijakannya tidak matang dan tidak direncanakan dengan baik.

Referensi :

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH PROPOSAL KEGIATAN (REUNI SMA)

CONDITIONAL SENTENCES

Adverbial Clauses