Jurnal Penelitian Etika Bisnis

ETIKA BISNIS

Jurnal Penelitian


Diajukan guna melengkapi salah satu syarat penilaian semester 7
Mata Kuliah Etika Bisnis
Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma


Nama                              :   Yunita Zakiah
NPM                               :   17211684
Kelas                               :   4EA17
Dosen                              :   Bonar S. Panjaitan



FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2014

ABSTRAK

Yunita Zakiah, 4EA17, 17211684
ETIKA BISNIS
Kata kunci: Apakah pelaku bisnis yang ada disekitar kita menggunakan etika didalam menjalankan bisnisnya? Bagaimanakah bentuk pelanggarannya? Apakah faktor penyebabnya? Bagaimana cara mengatasinya?

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui etika dalam bisnis yang dilakukan pelaku bisnis yang ada disekitar kita dalam menjalankan bisnisnya, bentuk pelanggarannya, faktor penyebabnya, dan cara mengatasinya.

Untuk mengatasi hal ini, andil pemerintah untuk membuat regulasi atau kebijakan juga pemberian sanksi pada pelaku bisnis yang melanggar etika bisnis. Konsistensi dan aktif sosialisasi badan pemerintahan, BPOM dan BSN, sangat diperlukan agar hak konsumen terpenuhi dan tidak dirugikan. Hal ini bertujuan prinsip timbal balik dan iktikad baik antara produsen terhadap konsumen dapat tercapai, sesuai dengan aspek tolok ukur etika.
















BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dunia bisnis saat ini mengalami perkembangan yang cepat, tidak hanya menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara luas. Perkembangan ini perlu diimbangi dengan aturan-aturan atau norma-norma yang dapat mengatur bisnis itu sendiri. Bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika bisnis adalah suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku-pelaku bisnis. Masalah etika dan ketaatan pada hukum yang berlaku merupakan dasar yang kokoh yang harus dimiliki para pelaku bisnis dan akan menentukan tindakan apa dan perilaku bagaimana yang akan dilakukan dalam bisnisnya. Untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat, maupun bangsa lain agar tidak hanya satu pihak yang menjalankan etika.
Penggunaan etika dalam menjalankan usaha atau bisnis oleh para pelaku bisnis dapat mempengaruhi image perusahaan serta dirinya sendiri. Hal ini dapat berdampak langsung terhadap tingkat penjualan, kinerja pemasaran, dan pendapatan perusahaan tersebut.
1.2  Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, pada bagian ini permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah pelaku bisnis yang ada disekitar kita menggunakan etika dalam menjalankan bisnisnya?
2.      Bagaimanakah bentuk pelanggarannya?
3.      Apakah faktor penyebabnya?
4.      Bagaimana cara mengatasinya?
Pembahasan dalam penulisan ini adalah melihat etika yang digunakan oleh pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya. Supaya tujuan penelitian dapat tercapai, maka penulis membatasi ruang lingkup masalah. Objek yang diteliti adalah produsen mainan anak-anak yang beredar di Indonesia. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah data sekunder. Metode analisis yang digunakan adalah analisa deskriptif.
1.3  Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apakah pelaku bisnis yang ada disekitar kita menggunakan etika dalam menjalankan bisnisnya.
2.      Untuk mengetahui bentuk pelanggarannya.
3.      Untuk mengetahui faktor penyebabnya.
4.      Untuk mengetahui cara mengatasinya.
1.4  Manfaat penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak akademis maupun pihak non akademis, seperti :
1.      Manfaat Akademis :
a. Penulis dapat menambah wawasan pembaca mengenai etika bisnis bagi pelaku bisnis.
b. Penulis dapat memberikan gambaran pada pembaca mengenai etika bisnis bagi pelaku bisnis.
2.      Manfaat Praktis :
a. Konsumen dapat menjadikan penelitian ini sebagai referensi.
b. Pelaku bisnis diharapkan dapat menjadikan penelitian ini sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan dalam etika bisnis di masa yang akan datang.









BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Etika Bisnis
Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula “etika bisnis “ bisa berbeda artinya. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika sebagai refleksi berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai obyeknya.
Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan. Menurut Bertens, keuntungan termasuk definisi bisnis. Sebab, apa itu bisnis? Dengan cara sederhana tapi cukup jelas, bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or services for a profit”.
Konsumen merupakan stakeholder yang sangat hakiki dalam bisnis modern. Bisnis tidak mungkin berjalan, kalau tidak ada konsumen yang menggunakan produk atau jasa yang dibuat dan ditawarkan oleh bisnis. Peter Drucker, perintis teori manajemen, menggarisbawahi peranan sentral pelanggan atau konsumen dengan menandaskan bahwa maksud bisni bisa didefinisikan secara tepat sebagai ‘to create a customer”. (Bertens, 227)
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Adapun menurut Business & Society – Ethics and Stakeholder Management Business Stakeholder (Caroll & Buchholtz, 2000), adalah:
Ethics is dicipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa etika bisnis adalah tata cara mengenai hal boleh dan tidak boleh dilakukan dalam melakukan bisnis oleh individu, perusahaan dan juga masyarakat.

2.2 Pentingnya Etika Bisnis dalam Berbisnis
Bukankah bisnis dan etika adalah dua  hal yang bertolak belakang dan berbeda? Banyak opini yang demikian  sehingga sering beredar di kalangan masyarakat, terutama masyarakat yang berkecimpung di dunia bisnis. Banyak definisi yang berkaitan dengan etika, tetapi pada intinya etika adalah semua norma atau “aturan” umum yang harus diperhatikan dalam berbisnis yang merupakan sumber dari nilai-nilai yang luhur dan perbuatan yang baik. Etika berbeda dengan hukum, aturan, ataupun regulasi, di mana hukum dan regulasi jelas aturan main dan sanksinya, atau dengan perkataan lain hukum atau regulasi adalah etika yang sudah diformalkan. Misalnya: Undang-undang, peraturan lalu lintas, dan sebagainya.

Etika tidak memiliki sanksi yang jelas, selain barangkali sanksi moral, atau sanksi dari Yang Maha Kuasa. Sehingga pada kenyataannya, sering etika tidak bergitu diperhatikan. Dalam jangka pendek, bisnis yang tidak memerhatikan etika bisa jadi akan dapat keuntungan, tetapi dalam jangka panjang, biasanya bermasalah dan mendapatkan sanksi moral dari masyarakat.

Ada beberapa pokok-pokok etika bisnis (F.Magnis Suseno, 1991:158-167) yaitu :
a. Beberapa sikap langsung terhadap pekerjaannya
Dapat disebut juga nilai-nilai seperti pelayanan pelanggan, loyalitas terhadap perusahaan, efisiensi organisatoris. Keberhasilan dan produktivitas tinggi.
b. Tanggung Jawab Lebih Luas
Pemimpin perusahaan secara spontan memperhatikan serta merasa bertanggung jawab atas atau terhadap semua pihak, dan juga perlu memiliki perasaan tanggung jawab menyeluruh yang jauh melampaui segi untung rugi material langsung perusahaannya.
c. Beberapa bisnis supaya dapat menjadi efektif harus dirumuskan secara kongkrit
Orang-orang bisnis sendiri harus merumuskan tantangan-tantangan etika yang dihadapi dan menyepakati sikap-sikap mana yang hendak diambil.
d. Sikap-sikap Pribadi.
Kejujuran dan tanggung jawab serta perinciannya dalam cara sebuah perusahaan melakukan bisnisnya mengandaikan bahwa mereka yang menentukannya, memiliki sikap moral atau karakter yang sesuai. Sikap-sikap itu adalah masalah mutu orang yang bersangkutan sebagai manusia.

2.3 Aspek Tolok Ukur Etika
Ada dua aspek tolok ukur etika, kedua hal ini adalah fondasi penting untuk etika bisnis atau melakukan bisnis yang fair dan jujur walaupun pada kenyataannya sulit untuk mengukurnya, yaitu:
1. Prinsip imbal balik
Para pemikir etika di dunia mencoba untuk membuat dasar pedoman pengukuran. Salah satunya adalah “prinsip imbal balik” atau prinsip imperatif dalam etika, di mana sesuatu tindakan dianggap tidak beretika apabila orang lain melakukannya kepada Anda, maka Anda tidak bisa menerimanya.
2. Iktikad baik
Suatu tindakan dianggap beretika apabila kita tidak keberatan jika orang lain melakukan hal itu terhadap diri kita. Sesuai dengan prinsip imbal balik, tetapi masalahnya tidak semua orang akan memiliki wawasan atau pandangan yang sama. Pada akhirnya etika bisnis sangat tergantung kepada iktikad baik.

2.4 Prinsip-Prinsip Etika Bisnis
Menurut Sony Keraf (1998) prinsip-prinsip etika bisnis adalah sebagai berikut:

  • Prinsip otonomi, adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
  • Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
  • Prinsip keadilan, menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional objektif, serta dapat dipertanggungjawabkan.
  • Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle), menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa, sehingga menguntungkan semua pihak.
  • Prinsip integritas moral, terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan maupun perusahaannya.

2.5 Perhatian untuk konsumen
Perumusan hak konsumen yang termahsyur ini agaknya tidak lengkap, tetapi dapat dipandang sebagai jalan masuk yang tepat ke dalam masalah etis sekitar konsumen. Karena itu ada baiknya kita mempertimbangkan ke empat hak ini:

  1. Hak atas keamanan
  2. Hak atas informasi
  3. Hak untuk memilih
  4. Hak untuk didengarkan
  5. Hak lingkungan hidup
  6. Hak konsumen atas pendidikan
Semua hak konsumen ini disebut juga dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang dimiliki Indonesia sejak April 1999, ditambah beberapa hak lain seperti hak untuk mendapatkan advokasi serta perlindungan dan hak untuk mendapatkan ganti rugi atau penggantian apabila produk tidak dalam keadaan semestinya.

2.4 Hal yang Perlu Diperhatikan dan Permasalahan dalam Etika Bisnis
Dalam menciptakan etika bisnis, ada hal-hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial perusahaan (social responsibility), menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep “permbangunan berkelanjutan”, menghindari sikap yang kurang etis KKN (Koneksi, Kolusi, dan Komisi), harus mampu menyatakan hal benar itu adalah benar, konsekuen dan konsisten dengan aturan-aturan yang telah disepakati bersama, menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati (sense of belonging), dan perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan maupun perundang-undangan.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1.      Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah produsen mainan anak-anak yang beredar di Indonesia.

3.2.      Data / Variabel Yang Digunakan
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yaitu suatu pengumpulan data dan informasi yang di peroleh dengan menggunakan informasi yang berhubungan dengan masalah penelitian.
Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah etika bisnis yang dilakukan oleh produsen mainan anak yang beredar di Indonesia.

3.3.      Metode Pengumpulan Data
Dalam upaya memperoleh data dalam penyusunan penulisan ilmiah ini, penulis mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber dengan metode penulisan sebagai berikut :
1. Observasi
Untuk mendapatkan data dan informasi tersebut penulis menggunakan data sekunder berupa artikel berita yang terdapat di beberapa portal berita.
2. Studi kepustakaan
Mencari referensi dari buku-buku dan literatur-literatur yang berkaitan dengan topik dalam penulisan ini.










BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Data dan Profile Objek Penelitian
Asosiasi Pedagang dan Produsen Mainan Indonesia - Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia, disingkat APMI didirikan pada tahun 1992 pendirian ini diprakarsai oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Bapak Arifin Siregar pada tanggal 16 Maret 1992 APMI adalah satu-satunya organisasi untuk produsen mainan di Indonesia dengan tujuan untuk menciptakan dan mengembangkan industri mainan kompetitif. Ia memelihara dan mengembangkan model usaha dan kegiatan produsen mainan untuk kebutuhan dunia bisnis dalam negeri dan luar negeri.

4.2. Hasil Penelitian dan Analisis/Pembahasan
4.2.1    Artikel Permasalahan Mainan Anak di Indonesia
Rainbow Loom Indonesia: Terbuat dari Karet, Gelang Lucu Loom Band Aman
AN Uyung Pramudiarja – detikHealth, Senin, 01/09/2014 14:42 WIB, Jakarta.
Kandungan bahan beracun penyebab kanker ditemukan pada charms atau aksesori gelang warna-warni loom band. Gelang loom band sendiri diklaim aman karena terbuat dari karet, bukan dari plastik yang mengandung phthalates. "Kalau loom band-nya sendiri aman. Bahannya dari karet," tegas Joel S dari Rainbow Loom Indonesia, saat dihubungi detikHealth, Senin (1/9/2014). Di Inggris, charms atau aksesori gelang loom band ditarik dari peredaran oleh jaringan toko mainan The Entertainer karena mengandung racun berbahaya phthalates. Senyawa tersebut digunakan di industri untuk membuat plastik agar lebih fleksibel.

Pada kadar tertentu, senyawa phthalates bersifat karsinogenik atau bisa memicu kanker. Hasil pengujian The Birmingham Assay Office pada sejumlah charms gelang loom band menemukan kandungan phthalates sebesar 40 persen, jauh lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan Uni Eropa yakni 0,1 persen. Selain pada charms, senyawa phthalates bisa ditemukan juga pada karpet dan produk-produk rumah tangga. Bahkan, senyawa ini dipakai juga dalam produk kosmetika seperti cat kuku dan hair spray.
Terkait kandungan phthalates dalam charms gelang warna warni loom band, Joel juga menyampaikan bahwa produk yang dijualnya juga mengantongi sertifikasi dari pabrik sehingga terjamin keamanannya. Sayangnya dari pengamatan detikHealth di sebuah toko mainan di Mal Kota Kasablanca Jakarta Selatan, produk-produk loom band umumnya tidak mencantumkan logo SNI (Standar Nasional Indonesia) di kemasannya.

Pthalate
Phthalates bisa ditemukan pada berbagai jenis produk. Phthalates juga digunakan pada mainan, benda elektronik seperti komputer, produk perawatan mobil, pembasmi serangga, dan produk rumah tangga termasuk bungkus dan wadah plastik atau tirai mandi. Pada produk perawatan diri, phthalates digunakan untuk membantu menjadi pelumas zat lain, menjadikan lotion menyatu dan lembut pada kulit, dan menjaga wangi bertahan lebih lama. Pada deodoran, cat kuku, hair spray, parfum, lotion, dan bedak (termasuk pada bedak, lotion, dan krim untuk bayi). Bahan kimia pada produk ini dapat diserap melalui kulit dan aliran darah.

Bahan kimia ini masuk ke tubuh anak ketika mereka menghisap atau mengunyah sebuah benda yang mengandung plasticizer seperti teether, atau anak memegang mainan lalu menghisap jari tangannya. Bayi paling rentan terpapar phthalates karena mereka selalu menghisap jari dan secara rutin memasukkan benda ke mulut. Orang dewasa maupun anak-anak memiliki kemungkinan untuk menyerap phthalates ke dalam tubuh. Anak-anak memiliki resiko lebih tinggi karena perilaku mereka memasukkan tangan ke mulut atau bermain di lantai.
Ada kekhawatiran besar terhadap kadar racun dari Pthalate seperti DEHP (Bis (2-ethylhexyl) Pthalate) yang bersifat toksik bagi reproduksi mamalia, karena dapat menganggu perkembangan testis di awal kehidupan. DEHP  dan DBP (Dibutyl Pthalate) digolongkan sebagai ‘toksik bagi sistem reproduksi’ di Eropa 17 dan penggunaannya dibatasi. Dibawah Undang Undang Uni Eropa REACH, DEHP, BBP (Benzyl butyl Phthalates) dan DBP dijadwalkan pelarangannya pada tahun 2015.

4.2.2    Artikel Peraturan Mainan Anak di Indonesia
Mainan Anak Wajib SNI Baru Diberlakukan November 2014
Sabtu, 3 Mei 2014 03:18 WIB, TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA.
Pemerintah kembali memperlonggar aturan wajib standar nasional industri (SNI) untuk mainan anak. Produsen mainan anak diberi kelonggaran hingga enam bulan ke depan. Namun demikian, Menteri Perdagangan M Lutfi mengelak jika dikatakan, pemerintah mengundur aturan tersebut. Rencana awalnya, pemerintah mulai menerapkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/4/2013 tentang pemberlakuan SNI Mainan Anak pada 10 Oktober 2013. Namun, karena masih belum siap, produsen mainan anak lantas diberikan tenggang waktu hingga awal Mei 2014.
Pengawasan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Mei hingga November 2014 bukanlah penertiban yang memaksa, melainkan pembinaan. “Artinya jika ditemukan yang tak ber-SNI masih bisa dimusyawarahkan. Tapi setelah 6 bulan ini (setelah November 2014), pengawasan akan diserahkan ke aparat umum supaya ada sistem yang baik di dalam negeri,” kata Lutfi.

PEMBERLAKUAN SNI MAINAN ANAK, LINDUNGI ANAK INDONESIA
Kementerian Perindustrian mengeluarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 24/M-Ind/PER/4/2013 yang memberlakukan secara wajib 5 SNI yang meliputi : (1) SNI ISO 8124-1:2010, Keamanan Mainan-Bagian 1: Aspek keamanan yang berhubungan dengan sifat fisis dan mekanis, (2) SNI ISO 8124-2:2010, Keamanan Mainan-Bagian 2: Sifat mudah terbakar, (3) SNI ISO 8124-3:2010, Keamanan Mainan-Bagian 3: Migrasi unsur tertentu, (4) SNI ISO 8124-4:2010, Keamanan Mainan-Bagian 4: Ayunan, seluncuran dan mainan aktifitas sejenis untuk pemakaian di dalam dan di luar lingkungan tempat tinggal, serta (5) SNI IEC 62115:2011, Mainan elektrik-Keamanan.

4.3 Rangkuman Hasil Penelitian
Berdasarkan uraian artikel-artikel berita di atas merupakan contoh kasus dari pelanggaran etika bisnis, diantaranya:

  1. Ada perusahaan yang belum mempunyai izin tetapi sudah melakukan kegiatan penjualan mainan anak.
  2. Produk mainan anak yang belum memiliki nomor registrasi dari perusahaan yang sudah mempunyai izin ataupun belum, sudah diperjualbelikan di pasaran.
  3. Melanggar peraturan yang berlaku, Peraturan  Menteri Perindustrian nomor : 24/M-IND/PER/4/2013 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Mainan secara wajib.
  4. Pelanggaran hak paten.
  5.  Penggunaan bahan yang berbahaya dalam produknya, yaitu Phthalates.
Permasalahan di atas secara langsung merupakan pelanggaran terhadap hukum, karena menyalahi peraturan pemerintah bahwa semua perusahaan yang akan beroperasi harus memperoleh izin usaha terlebih dahulu dan produk tersebut harus diberi label SNI (Standar Nasional Indonesia). Selain itu, perusahaan pesaing dari Rainbow Loom melakukan pelanggaran hak paten juga menggunakan bahan yang berbahaya dalam produknya.

Secara tidak langsung pelanggaran ini bertentangan dengan etika juga, karena (1) kewajiban mematuhi peraturan hukum didasarkan atas etika dan (2) pelanggaran itu bisa menjadi penyebab masalah untuk tindakan yang merugikan masyarakat konsumen.

Pelanggaran ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor:

  1. Studi sejarah menunjukkan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagai tujuan usaha ekonomis mengakibatkan kurang etis.
  2. Biasanya faktor keuntungan merupakan hal yang mendorong terjadinya pelaku bisnis melakukan pelanggaran hakpaten.
  3. Kurang tegasnya pihak BPOM dalam mengatasi permasalahan pelanggaran bahan bahaya yang digunakan.
  4. Kurangnya sosialisasi pihak BSN kepada masyarakat terutama pedagang mengenai aturan untuk mainan anak wajib memiliki logo SNI.
Untuk mengatasi permasalahan ini, andil pemerintah sangat diperlukan. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan kepastian hukum dan penegakan hukum terhadap pelaksanaan aturan pemasaran produksi, diperusahaan-perusahaan. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan, pemerintah akan tegas memberikan sanksi hukum kepada perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan syarat produksi produk dengan benar dan perusahaan mempunyai barang ilegal atau tidak memiliki izin pemasaran produksi dari lembaga pemerintahan.

Keputusan untuk menghentikan pasokan barangnya di pasaran yang dilakukan oleh The Entertainer perlu dijadikan contoh. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki etika bisnis yang baik dengan konsekuen dan konsisten dengan aturan-aturan yang telah disepakati bersama.


BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Perusahaan pesaing dari Rainbow Loom yang membuat tiruan dari produk ini. Padahal yang dilakukan oleh perusahaan pesaing tersebut telah menyalahi beberapa aturan. Perilaku ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etika bisnis. Mulai dari pelanggaran izin usaha, hak paten, dan penggunaan bahan berbahaya bagi pengguna produk. Tujuan perusahaan mengambil keuntungan dari terkenalnya produk menjadi faktor yang melatarbelakangi dilakukannya pelanggaran ini.

Untuk mengatasi hal ini, andil pemerintah untuk membuat regulasi atau kebijakan juga pemberian sanksi pada pelaku bisnis yang melanggar etika bisnis. Konsistensi dan aktif sosialisasi badan pemerintahan, BPOM dan BSN, sangat diperlukan agar hak konsumen terpenuhi dan tidak dirugikan. Hal ini bertujuan prinsip timbal balik dan iktikad baik antara produsen terhadap konsumen dapat tercapai, sesuai dengan aspek tolok ukur etika.



















DAFTAR PUSTAKA


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CONTOH PROPOSAL KEGIATAN (REUNI SMA)

Adverbial Clauses

CONDITIONAL SENTENCES